SING NDELOK

Selasa, 27 Januari 2015

Sastra Djendra 3

Sastra Djendra 3

pambukaan ilmu sejati sastra jendra yang agung sudah ternodai inilah pembukaan agung itu

Energi dalam tubuh manusia berpusat disekitar pusar. Pembangkitnya berada di situ. Lalu, biasanya ada dua kemungkinan. Mengalir ke bawah, atau mengalir ke atas. Jika mengalir ke bawah, instink-instink hewani dalam diri manusia akan terstimuli. Instink-instink hewani yang kita warisi berkat evolusi panjang itu akan bangkit kembali dan mencari mangsanya. Kemudian, demi kenyamanan diri, kita bisa mencelakakan apa saja. Sebaliknya, jika mengalir ke atas, energi itu akan membuat anda menjadi lebih kreatif dan konstruktif. Anda akan menjadi unik, orisinil dan karena itu anda akan menjadi berkah bagi lingkungan sekitar anda

Resi Wisrawa sedang mengupas ilmu Sastrajendra Pangruwating Diyu di taman keputren bersama Dewi Sukesi. ‘Sastrajendra’, Tulisan Agung tersebut tak jauh dari pemahaman tentang manusia itu sendiri, tentang ‘gumelaring jagad’, asal-usul jagad, ‘sejatining urip’, makna hidup, ‘sejatining panembah’, pengabdian kepada Gusti dan ‘sampurnaning pati’, kesempurnaan kematian.
Ucapan-ucapan seperti, “Aku sudah pasrah. Aku sudah berserah diri sepenuhnya” hanya menunjukkan betapa naifnya kita. Di balik ucapan-ucapan kita seperti itu masih ada keinginan terselubung, untuk menonjolkan diri kita. Kepasrahan kita membutuhkan pengakuan orang lain. Ego kita masih tetap ada. Dan selama masih ada ego, tidak ada cinta, tidak akan ada kasih
Beberapa penjelasan Resi Wisrawa, “Pada waktu kita sudah lepas dari keterikatan, kehilangan rasa memiliki, termasuk memiliki diri sendiri, kita masuk dalam “kematian”. Di balik “kematian” itulah justru ada “kehidupan” sejati. Kehidupan yang tidak berawal dan tidak berakhir, yang bebas dari belenggu keterikatan.”
Mereka yang jiwanya telah mati sibuk mencari kehidupan. Mereka yang jiwanya hidup mengejar kematian. Suatu paradoks tetapi Begitulah adanya. Apabila anda tidak merasa hidup, Anda akan selalu mengejar kehidupan. Apabila Anda tidak merasa sehat, Anda akan mengejar kesehatan. Apa pun yang Anda rasakan tidak “ada” dalam diri Anda, akan Anda kejar. Anda akan membanting tulang untuk memperolehnya. Sebaliknya, mereka yang merasakan dirinya hidup, mereka yang telah mengenal kehidupan dari dekat, mereka yang telah puas menjalani kehidupan tidak akan mengejar kehidupan lagi. Mereka yang sehat tidak mengejar kesehatan
Kita berada dalam keindahan cinta. Alam semesta ini adalah perwujudan cinta Sang Keberadaan. Manusia, hewan, tanaman tak mungkin ada tanpa cinta. Cinta dan keindahan terdapat dalam naluri, integensia setiap manusia.”
“Ibarat sungai diam yang mengalirkan air yang selalu baru. Bukan jatidiri yang berjalan, tetapi waktulah yang berjalan. Cinta melampaui waktu. Tubuh fisik boleh berubah sesuai usia, akan tetapi cinta itu sendiri abadi. Masa lalu tidak ada, masa depan belum tiba dan yang ada hanya saat ini dan hal ini perlu dirayakan.”
“Dalam cinta itu ada kerinduan, bukan kerinduan terhadap hal-hal duniawi yang bersifat sementara, tetapi kerinduan kepada hal yang tidak dimengerti. Kebahagian dalam kerinduan tersebut bukan karena kepemilikan, tetapi karena ridho Sang Keberadaan. Pasrah total terhadap Keberadaan.”
Cinta tidak bertujuan, tak akan pernah bertujuan. Mereka yang belum kenal cinta selalu bingung. Mereka tidak dapat membayangkan suatu “tindakan” tanpa tujuan. Cinta yang ada pamrihnya, yang bersyarat, bukan cinta lagi. Lakukan introspeksi diri selama ini apakah Anda mencintai Allah? Jangankan pengorbanan dalam cinta, selama ini mungkin cinta pun belum pernah menyentuh jiwa kita, ruh kita, batin kita. Dan apabila kita belum mencicipi manisnya Kasih Allah, manisnya Cinta Tuhan, selama itu pula kita akan selalu berkiblat pada dunia benda pada segala sesuatu yang fana, yang semu. Berkorban dalam Cinta Allah berarti menolak segala sesuatu yang fana. Dengan Cinta, dan hanya Cinta saja yang dapat menyingkirkan bayangan gelap dari yang bukan Allah itu. Dengan Cinta dan Cinta saja, jiwa manusia dapat memenangkan kembali sumber kesucian itu dan menemukan tujuan utama yaitu penyatuan kembali dengan kebenaran
Dewi Sukesi mengandung akibat buah cinta terlarangnya dengan Resi Wisrawa. Dan, kemudian dari rahimnya terlahir segumpal darah, bercampur sebuah wujud telinga dan kuku. Segumpal darah itu menjadi raksasa bernama Rahwana yang melambangkan nafsu angkara manusia. Sedangkan telinga menjadi raksasa sebesar gunung yang bernama Kumbakarna, yang meski pun berwujud raksasa tetapi hatinya bijak, ia melambangkan penyesalan ayah ibunya. Sedangkan kuku menjadi raksasa wanita yang bertindak semaunya bernama Sarpakenaka.

Sastra Jendra adalah ilmu puncak yang hanya boleh diketahui dan dipakai para dewata, tidak boleh diketahui dan digunakan oleh manusia.Yang bermakna : Ilmunya para dewa untuk mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan dengan

cara membebaskan diri ( pangruwat) dari kebutaan sehingga mampu membedakan yang baik dengan yang buruk.( diyu).

memang sarat dengan kalimat-kalimat yang samar atau memang sengaja dibuat samar. Sehingga hanya orang yang sungguh-sungguh serius belajar yang bisa menemukan.
orang yang sudah menguasai Sastra Jendra adalah manusia yang telah mengetahui jati dirinya, telah ketemu dengan Pribadi Sejatinya/Higher- Self,yang telah Mengetahui Kasunyataaning Urip, Kehidupan Sejati, Realitas Kehidupan lahir batin.

Karena peristiwa pengajaran tersebut, menurut Hyang Guru (manikmaya) maka Wisrawa harus menerima pameleh . Hyang Guru manunggal dengan Wisrawa dan Dewi Uma dengan Sukesi. maka oleh karenanya Sukesi jatuh hati pada Wisrawa walaupun berulang diingatkan bahwa Wisrawa adalah calon mertuanya.
Api asmara dikobarkan antara keduanya, hingga terjadilah peristiwa terlarang itu sebelum ilmu Sastrajendra Hayuningrat Panguwating Diyu utuh dijabarkan Wisrawa pada Sukesi , baru sampai tingkat pembuka saja.
Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi hanya dapat berserah diri sepenuhnya kepada kehendak Sang Penguasa Alam. Ketiga bayi itu lahir diiringi lolongan serigala dan raungan anjing liar. Auman harimau dan kerasnya teriakan burung gagak. Suasana yang demikian mencekam mengiringi kelahiran ketiga bayi yang diberi nama Rahwana, Sarpakenaka dan Kumbakarna. Dengan kepasrahan yang mendalam, Wisrawa dan Sukesi membawa ketiga anak-anaknya ke Istana Alengka. Tiba di Alengka, Prabu Sumali menyambut mereka dengan duka yang sangat dalam. Kesedihan itu membuat Sang Prabu yang baik hati ini menerima mereka dengan segala keadaan yang ada. Di Alengka Wisrawa dan Sukesi membesarkan ketiga putra-putri mereka dengan setulus hati.
Rahwana dan Sarpakenaka tumbuh menjadi raksasa dan raksesi beringas, penuh nafsu jahat dan angkara. Rahwana tampak semakin perkasa dan menonjol diantara kedua adik-adiknya. Kelakuannya kasar dan biadab. Demikian juga dengan Sarpakenaka yang makin hari semakin menjelma menjadi raksasa wanita yang selalu mengumbar hawa nafsu. Sarpakenaka selalu mencari pria siapa saja dalam bentuk apa saja untuk dijadikan pemuas nafsunya. Sebaliknya Kumbakarna tumbuh menjadi raksasa yang sangat besar, tiga sampai empat kali lipat dari tubuh raksasa lainnya. Ia juga memiliki sifat dan pribadi yang luhur. Walau berujud raksasa, tak sedikitpun tercermin sifat dan watak raksasa yang serakah, kasar dan suka mengumbar nafsunya, pada diri Kumbakarna.
Namun perasaan gundah dan sedih menggelayut di relung hati Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi. Ketiga putranya lahir dalam wujud raksasa dan raksesi. Kini Dewi Sukesi mulai mengandung putranya yang keempat. Akankah putranya ini juga akan lahir dalam wujud rasaksa atau raseksi? Dosa apakah yang telah mereka lakukan? Ataukah akibat dari gejolak nafsu yang tak terkendali sebagai akibat penjabaran Ilmu Sastrajendra Hayuningrat yang telah dilakukan oleh Resi Wisrawa kepada Dewi Sukesi?
Sadar akan kesalahannya yang selama ini terkungkung oleh nafsu kepuasan, Resi Wisrawa mengajak Dewi Sukesi, istrinya untuk bersemadi, memohon pengampunan kepada Sang Maha Pencipta, serta memohon agar dianugerahi seorang putra yang tampan, setampan Wisrawana/Danaraja, putra Resi Wisrawa dengan Dewi Lokawati, yang kini menduduki tahta kerajaan Lokapala. Sebagai seorang brahmana yang ilmunya telah mencapai tingkat kesempurnaan, Resi Wisrawa mencoba membimbing Dewi Sukesi untuk melakukan semadi dengan benar agar doa pemujaannya diterima oleh Dewata Agung. Berkat ketekunan dan kekhusukkannya bersamadi, doa permohonan Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi diterima oleh Dewata Agung. Setelah bermusyawarah dengan para dewa, Bhatara Guru kemudian meminta kesediaan Resi Wisnu Anjali, sahabat karib Bhatara Wisnu, untuk turun ke marcapada menitis pada jabang bayi dalam kandungan Dewi Sukesi.
BERLANJUT...................

Tidak ada komentar:

Posting Komentar